Kadang, mulut ini ingin bercerita.
Tapi seperti tak sanggup ingin berkata.
Aku hanya bisa terdiam.
Seperti seketika hilang semua dan terbang melayang.
Aku tertawa, bukan karena aku bahagia.
Tapi aku bahagia, karena aku tertawa.
Mungkin sedikit terpaksa, tapi tak apa.
Setidaknya aku bisa sedikit melupakan duka.
Mungkin, kau melihatku tersenyum.
Dan kau berkata,
"Tak mungkin kau sedang berduka, kau selalu terlihat ceria."
Tidak, aku mencoba untuk menutupinya.
Bukan, bukan aku tidak mau membaginya kepada dunia.
Ada alasan mengapa aku diam.
Dan semua itu nampak jelas di wajahku.
Aku memendam dan terdiam.
Aku ingin diam dan melupakannya.
Daripada aku harus membaginya, dan mengingatnya kembali.
Jangan, jangan kau kira aku selalu bahagia.
Ada saat dimana aku merasa di antara dua dunia.
Antara jiwa dan raga saling ingin lepas.
Seperti kaki tak mampu menjajakan kaki di tanah ini.
Tidak, tangisanku bukan berarti aku kalah.
Tapi karena aku sudah sangat lelah.
Menahan semua rasa amarah, gelisah dan resah.
Dan sungguh, aku tidak merasa kalah.
Aku sudah terlalu lama memendam ini semua.
Iya, benar sekali aku terluka.
Betul, betul sekali aku kecewa.
Semuanya terasa seperti rentetan bencana.
Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Gelap, dingin, dan tak ada rasa.
Bagaimana, jika aku mati rasa?
Bagaimana, jika aku mulai memakai logika saja?
Sepertinya semua serba salah, ketika aku menggunakan hatiku.
Oh tentu, tentu aku berpikir dengan otakku.
Hanya saja, kali ini aku akan menggunakan logikaku, hanya logika.
Hatiku, ingin aku tutup.
Aku ingin mengistirahatkannya.
Tapi seperti tak sanggup ingin berkata.
Aku hanya bisa terdiam.
Seperti seketika hilang semua dan terbang melayang.
Aku tertawa, bukan karena aku bahagia.
Tapi aku bahagia, karena aku tertawa.
Mungkin sedikit terpaksa, tapi tak apa.
Setidaknya aku bisa sedikit melupakan duka.
Mungkin, kau melihatku tersenyum.
Dan kau berkata,
"Tak mungkin kau sedang berduka, kau selalu terlihat ceria."
Tidak, aku mencoba untuk menutupinya.
Bukan, bukan aku tidak mau membaginya kepada dunia.
Ada alasan mengapa aku diam.
Dan semua itu nampak jelas di wajahku.
Aku memendam dan terdiam.
Aku ingin diam dan melupakannya.
Daripada aku harus membaginya, dan mengingatnya kembali.
Jangan, jangan kau kira aku selalu bahagia.
Ada saat dimana aku merasa di antara dua dunia.
Antara jiwa dan raga saling ingin lepas.
Seperti kaki tak mampu menjajakan kaki di tanah ini.
Tidak, tangisanku bukan berarti aku kalah.
Tapi karena aku sudah sangat lelah.
Menahan semua rasa amarah, gelisah dan resah.
Dan sungguh, aku tidak merasa kalah.
Aku sudah terlalu lama memendam ini semua.
Iya, benar sekali aku terluka.
Betul, betul sekali aku kecewa.
Semuanya terasa seperti rentetan bencana.
Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Gelap, dingin, dan tak ada rasa.
Bagaimana, jika aku mati rasa?
Bagaimana, jika aku mulai memakai logika saja?
Sepertinya semua serba salah, ketika aku menggunakan hatiku.
Oh tentu, tentu aku berpikir dengan otakku.
Hanya saja, kali ini aku akan menggunakan logikaku, hanya logika.
Hatiku, ingin aku tutup.
Aku ingin mengistirahatkannya.
No comments:
Post a Comment